Dalam firma hukum atau pengadilan, mungkin Anda cukup sering mendengar tentang kata perikatan dan perjanjian. Meski terkesan memiliki makna yang sama, keduanya keduanya ternyata perikatan dan perjanjian merupakan dua hal berbeda. Lalu, apa sebenarnya perbedaan antara perikatan dan perjanjian di dalam dunia hukum, khususnya perdata?
Dalam bukunya, Prof Subekti menyebut perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua dua pihak. Dalam hal ini, pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain harus memenuhi tuntutan tersebut. Sementara itu, pada Pasal 1313 KUH Perdata, disebutkan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan, yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa perjanjian dapat menimbulkan perikatan, namun perikatan tidak hanya ada karena perjanjian melainkan juga hal lain. Hal ini misalnya karena adanya undang-undang.
Jika dipahami lebih lanjut, perikatan dapat menciptakan hubungan hukum yang bersifat sepihak dan relatif. Hal ini mengingat hubungan tersebut hanya bisa dipertahankan dan dimintai pertanggungjawaban terhadap orang-orang tertentu saja. Adapun orang tertentu ini merupakan para pihak yang terikat karena persetujuan atau ketentuan undang-undang.
Sementara dalam perjanjian, hal yang terjadi adalah suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum nantinya dapat menciptakan hubungan hukum/perikatan. Namun, biasanya hubungan ini bersifat timbal balik lantaran dalam perjanjian setiap pihak memiliki hak dan kewajibannya sendiri atau masing-masing.
Itulah perbedaan antara perikatan dan perjanjian. Baik di firma hukum maupun lingkup lainnya, untuk membuat suatu perjanjian atau kontrak diperlukan pemahaman soal ketentuan-ketentuan hukum perikatan. Bahkan, diperlukan juga keahlian para pihak dalam pembuatan kontrak.
Maka dari itu, kontrak menjadi penting sebagai pedoman kerja bagi para pihak terkait. Dalam penyusunan kontrak pun perlu memperhatikan perundang-undangan ketertiban umum, kebiasaan, dan kesusilaan yang berlaku.
Saat ini hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan peraturan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih menganut sistem terbuka, yang mana para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapa pun, serta menentukan syarat-syarat, pelaksanaan, maupun bentuk kontrak baik secara tertulis maupun lisan.
Dalam perencanaan atau pembuatan perjanjian syarat sah perjanjian atau kontrak menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Hal ini diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang intinya mengatur tentang kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak.
Jenis-Jenis Perikatan
Perikatan memiliki berbagai jenis jika dilihat dari kondisi dan situasinya. Berikut beberapa jenis perikatan.
– Perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
– Perikatan bersyarat
– Perikatan dengan ketepatan waktu
– Perikatan tanggung menanggung
– Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
– Perikatan dengan ancaman hukum
Perjanjian dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, kontrak atau perjanjian disebut sebagai kegiatan muamalah yang dilakukan oleh individu dengan individu lain, baik yang bersifat tabarru (saling tolong-menolong tanpa imbalan) maupun bersifat tijarah (transaksi dengan tujuan mencari keuntungan). Dalam bahasa Arab, hal ini disebut dengan kata akad. Rukun dan syarat yang membentuk akad di antaranya:
- Para pihak yang membuat akad, dalam hal ini syarat-syaratnya:
– Tamyiz, sama dengan kecakapan dalam KUH Perdata
– Berbilang pihak
- Pernyataan kehendak para pihak dengan syarat-syaratnya:
– Sesuai ijab dan kabul
– Kesatuan majelis
- Objek akad, syarat-syaratnya:
– Dapat diserahkan
– Dapat ditentukan
– Dapat ditransaksikan
- Tujuan akad
Nah, itulah beberapa pengertian mengenai perikatan dan perjanjian. Adapun dua hal ini memang kerap disalahartikan sebagai sesuatu hal yang mirip. Padahal, jika ditelaah keduanya berbeda meskipun saling berkaitan.